Minggu, 25 Januari 2009

Positive Parenting


Setiap anak lahir dengan dorongan berbuat baik. Ia mencintai kebaikan dan secara naluriah ingin menjaga diri dari keburukan. Tetapi pada saat ia lahir, mereka belum bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan. Setiap bayi lahir dalam keadaan antusias dan optimis. Tidak ada bayi yang termening sedih hanya karena gagal belajar merangkak. Menangis itu biasa, sebagai reaksi dari badan yang sakit atau perut yang lapar, sementara mengkomunikasikan dalam bahasa verbak belum mampu. Tetapi setelah tangis reda, antusiasme itu bangkit lagi, menyala-nyala dalam diri mereka. Optimis mereka tumbuh dan tidak sibuk dengan keadaan masa lalu. Mereka sibuk dengan usaha.
Sayangnya, harta mereka yang sangat berharga bernama antusiasme dan optimisme ini kita matikan dalam dua tahun pertama. Dua hal berikut ini yang menunjukkan kesalahan kita mendidik anak.Pertama adalah kurangnya ilmu. Meskipun kita sadar bahwa ilmu itu mendahului amal, kita rupanya mempersiapkan ilmu untuk berkarir lebih banyak daripada ilmu untuk menjadi orangtua. Padahal tugas kita menjadi orang tua duapuluh empat jam, seharisemalam, termasuk saat tidur, terjagaserta antara sadar dan tidak. Sementara tugas kita dalam karir hanya beberapa jam. Kedua, urusan hati kita yang belum terurus. Kita lapar ruhani pada saat kita harus mengenyangkan ruhani anak kita.
Pelajaran yang dapat kita petik adalah kita perlu berpikir tentang bagaimana menjalankan tugas parenting, yakni mengasuh, membesarkan dan mendidik mereka bukan saja tidak mematikan segala kebaikan mereka. Lebih dari itu, kita harus bisa merangsang inisiatif-inisiatif mereka, mendorong semangat mereka, menunjukkan penerimaan yang tulus dan memberikan perhatian yang hangat atas setiap kebaikan yang mereka lakukan. Kita perlu mengembangkan inisiatif positif. Inilah yang disebut dengan positive parenting.
Kunci utama dalam positive parenting adalah terletak pada komunikasi. Perilaku yang keliru bisa kita luruskan dengan komunikasi positif. Ingat, bahwa anak lebih mudah menerima saran dan usulan positif dari pada larangan, apalagi jika disampaikan dengan suara membentak. Dalam QS Al-Ikhlas ayat 1-4, ketika Allah membantah perkataan manusia bahwa tuhan diperanakkan, Dia memulainya dengan kalimat positif, bukan sanggahan: Katakanlah ”Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu”. Baru setelah itu Allah memberikan sanggahan di ayat 3 dan 4 ”Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.
Ada pelajaran di sini. Ada yang perlu kita renungkan apabila kita mau berpikir. Allah memulai dengan kalimat positif untuk menunjukkan yang seharusnya , sehingga manusia lebih mudah menerima dan lebih siap untuk mengubah pikirannya. Betapa indahnya kebenaran dan betapa menyentuhnya pelajaran yang Allah berikan dengan caranya berkomunikasi. Semoga kita Allah menolong kita untuk mengantarkan anak kita agar menjadi berkah.

Energi Terbarukan di Indonesia

Merupakan suatu kenyataan bahwa kebutuhan akan energi, khususnya energi listrik di Indonesia, makin berkembang menjadi bagian tak terpisahkan dari kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari seiring dengan pesatnya peningkatan pembangunan di bidang teknologi, industri dan informasi. Namun pelaksanaan penyediaan energi listrik yang dilakukan oleh PT.PLN (Persero), selaku lembaga resmi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola masalah kelistrikan di Indonesia, sampai saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan energi listrik secara keseluruhan. Kondisi geografis negara Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dan kepulauan, tersebar dan tidak meratanya pusat-pusat beban listrik, rendahnya tingkat permintaan listrik di beberapa wilayah, tingginya biaya marginal pembangunan sistem suplai energi listrik (Ramani,K.V,1992), serta terbatasnya kemampuan finansial, merupakan faktor-faktor penghambat penyediaan energi listrik dalam skala nasional.
Selain itu, makin berkurangnya ketersediaan sumber daya energi fosil, khususnya minyak bumi, yang sampai saat ini masih merupakan tulang punggung dan komponen utama penghasil energi listrik di Indonesia, serta makin meningkatnya kesadaran akan usaha untuk melestarikan lingkungan, menyebabkan kita harus berpikir untuk mencari altematif penyediaan energi listrik yang memiliki karakter;
dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian energi fosil, khususnya minyak bumi
dapat menyediakan energilistrik dalam skala lokal regional
mampu memanfaatkan potensi sumber daya energi setempat, serta
cinta lingkungan, dalam artian proses produksi dan pembuangan hasil produksinya tidak merusak lingkungan hidup disekitarnya.
Sistem penyediaan energi listrik yang dapat memenuhi kriteria di atas adalah sistem konversi energi yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan, seperti: matahari, angin, air, biomas dan lain sebagainya (Djojonegoro,1992). Tak bisa dipungkiri bahwa kecenderungan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi sumber-sumber daya energi terbarukan dewasa ini telah meningkat dengan pesat, khususnya di negara-negara sudah berkembang, yang telah menguasai rekayasa dan teknologinya, serta mempunyai dukungan finansial yang kuat. Oleh sebab itu, merupakan hal yang menarik untuk disimak lebih lanjut, bagaimana peluang dan kendala pemanfaatan sumber-sumber daya energi terbarukan ini di negara-negara sedang berkembang, khususnya di Indonesia.
Peluang Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia
Menipisnya cadangan minyak bumi
Setelah terjadinya krisis energi yang mencapai puncak pada dekade 1970, dunia menghadapi kenyataan bahwa persediaan minyak bumi, sebagai salah satu tulang punggung produksi energi terus berkurang
Bahkan beberapa ahli berpendapat, bahwa dengan pola konsumsi seperti sekarang, maka dalam waktu 50 tahun cadangan minyak bumi dunia akan habis. Keadaan ini bisa diamati dengan kecenderungan meningkatnya harga minyak di pasar dalam negeri, serta ketidak stabilan harga tersebut di pasar internasional, karena beberapa negara maju sebagai konsumen minyak terbesar mulai melepaskan diri dari ketergantungannya kepada minyak bumi sekaligus berusaha mengendalikan harga, agar tidak meningkat. Sebagai contoh; pada tahun 1970 negara Jerman mengkonsumsi minyak bumi sekitar 75 persen dari total konsumsi energinya, namun pada tahun 1990 konsumsi tersebut menurun hingga tinggal 50 persen (Pinske, 1993).
Jika dikaitkan dengan penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar sistem pembangkit listrik, maka kecenderungan tersebut berarti akan meningkatkan pula biaya operasional pembangkitan yang berpengaruh langsung terhadap biaya satuan produksi energi listriknya. Di lain pihak biaya satuan produksi energi listrik dari sistem pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan menunjukkan tendensi menurun, sehingga banyak ilmuwan percaya, bahwa pada suatu saat biaya satuan produksi tersebut akan lebih rendah dari biaya satuan produksi dengan minyak bumi atau energi fosil lainnya.
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pelestarian lingkungan
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pelestarian lingkungan hidup menunjukkan gejala yang positif. Masyarakat makin peduli akan upaya penanggulangan segala bentuk potusi, mulai dari sekedar menjaga kebersihan lingkungan sampai dengan mengontrol limbah buangan dan sisa produksi. Banyak pembangunan proyek fisik yang memperhatikan faktor pelestarian lingkungan, sehingga perusakan ataupun pengotoran yang merugikan lingkungan sekitar dapat dihindari, minimal dikurangi. Setiap bentuk produksi energi dan pemakaian energi secara prinsip dapat menimbulkan bahaya bagi manusia, karena pencemaran udara, air dan tanah, akibat pembakaran energi fosil, seperti batubara, minyak dan gas di industri, pusat pembangkit maupun kendaraan bermotor. Limbah produksi energi listrik konvensional, dari sumber daya energi fosil, sebagian besar memberi kontribusi terhadap polusi udara, khususnya berpengaruh terhadap kondisi klima.
Pembakaran energi fosil akan membebaskan Karbondioksida (CO2) dan beberapa gas yang merugikan lainnya ke atmosfir. Pembebasan ini merubah komposisi kimia lapisan udara dan mengakibatkan terbentuknya efek rumah kaca (treibhouse effect), yang memberi kontribusi pada peningkatan suhu bumi. Guna mengurangi pengaruh negatif tersebut, sudah sepantasnya dikembangkan pemanfaatan sumber daya energi terbarukan dalam produksi energi listrik. Sebagai ilustrasi, setiap kWh energi listrik yang diproduksi dari energi terbarukan dapat menghindarkan pembebasan 974 gr CO2, 962 mg SO2 dan 700 mg NOx ke udara, dari pada Jlka diproduksi dari energi fosil. Bisa dihitung, jika pada tahun 1990 yang lalu 85 persen dari produksi energi listrik di Indonesia (sekitar 43.200 GWh) dihasilkan oleh energi fosil, berarti terjadi pembebasan 42 juta ton CO2, 41,5 ribu ton SO2 serta 30 ribu ton NOx. Kita tahu bahwa CO2 merupakan salah satu penyebab terjadinya efek rumah kaca, SO2 mengganggu proses fotosintesis pada pohon, karena merusak zat hijau daunnya, serta menjadi penyebab terjadinya hujan asam bersama-sama dengan NOx. Sedangkan NOx sendiri secara umum dapat menumbuhkan sel-sel beracun dalam tubuh mahluk hidup, serta meningkatkan derajat keasaman tanah dan air jika bereaksi dengan SO2.
Kendala pengembangan Energi terbarukan di Indonesia
Pemanfaatan sumber daya energi terbarukan sebagai bahan baku produksi energi listrik mempunyai kelebihan antara lain;
relatif mudah didapat,
dapat diperoleh dengan gratis, berarti biaya operasional sangat rendah,
tidak mengenal problem limbah,
proses produksinya tidak menyebabkan kenaikan temperatur bumi, dan
tidak terpengaruh kenaikkan harga bahan bakar (Jarass,1980).
Akan tetapi bukan berarti pengembangan pemanfaatan sumber daya energi terbarukan ini terbebas dari segala kendala. Khususnya di Indonesia ada beberapa kendala yang menghambat pengembangan energi terbarukan bagi produksi energi listrik, seperti:
harga jual energi fosil, misal; minyak bumi, solar dan batubara, di Indonesia masih sangat rendah. Sebagai perbandingan, harga solar/minyak disel di Indonesia Rp.380,-/liter sementara di Jerman mencapai Rp.2200,-/liter, atau sekitar enam kali lebih tinggi.
rekayasa dan teknologi pembuatan sebagian besar komponen utamanya belum dapat dilaksanakan di Indonesia, jadi masih harus mengimport dari luar negeri.
biaya investasi pembangunan yang tinggi menimbulkan masalah finansial pada penyediaan modal awal.
belum tersedianya data potensi sumber daya yang lengkap, karena masih terbatasnya studi dan penelitian yang dilkakukan.
secara ekonomis belum dapat bersaing dengan pemakaian energi fosil.
kontinuitas penyediaan energi listrik rendah, karena sumber daya energinya sangat bergantung pada kondisi alam yang perubahannya tidak tentu.
Potensi sumber daya energi terbarukan, seperti; matahari, angin dan air, ini secara prinsip memang dapat diperbarui, karena selalu tersedia di alam. Namun pada kenyataannya potensi yang dapat dimanfaatkan adalah terbatas. Tidak di setiap daerah dan setiap waktu; matahari bersinar cerah air jatuh dari ketinggan dan mengailr deras serta angin bertiup dengan kencang Di sebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan tersebut, nilaii sumber daya energi sampal saat ini belum dapat begitu menggantikan kedudukan sumber daya energi fosil sebagai bahan baku produksi energi listrik. Oleh sebab itu energi terbarukan ini lebih tepat disebut sebagai energi aditif, yaitu sumber daya energi tambahan untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi listrik, serta menghambat atau mengurangi peranan sumber daya energi fosil.
Strategi Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia
Berdasar atas kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan peran energi terbarukan pada produksi energi listrik khususnya, maka beberapa strategi yang mungkin diterapkan, antara lain:
meningkatkan kegiatan studi dan penelitian yang berkaitan dengan; pelaksanaan identifikasi setiap jenis potensi sumber daya energi terbarukan secara lengkap di setiap wilayah; upaya perumusan spesifikasi dasar dan standar rekayasa sistem konversi energinya yang sesuai dengan kondisi di Indonesia; pembuatan "prototype" yang sesuai dengan spesifikasi dasar dan standar rekayasanya; perbaikan kontinuitas penyediaan energi listrik; pengumpulan pendapat dan tanggapan masyarakat tentang pemanfaatan energi terbarukan tersebut.
menekan biaya investasi dengan menjajagi kemungkinan produksi massal sistem pembangkitannya, dan mengupayakan agar sebagian komponennya dapat diproduksi di dalam negeri, sehingga tidak semua komponen harus diimport dari luar negeri. Penurunan biaya investasi ini akan berdampak langsung terhadap biaya produksi.
memasyarakatkan pemanfaatan energi terbarukan sekaligus mengadakan analisis dan evaluasi lebih mendalam tentang kelayakan operasi sistem di lapangan dengan pembangunan beberapa proyek percontohan .
meningkatkan promosi yang berkaitan dengan pemanfaatan energi dan upaya pelestarian lingkungan.
memberi prioritas pembangunan pada daerah yang meliki potensi sangat tinggi, baik teknis maupun sosio-ekonomisnya.
memberikan subsidi silang guna meringankan beban finansial pada tahap pembangunan. Subsidi yang diberikan, dikembalikan oleh konsumen berupa rekening yang harus dibayarkan pada setiap periode waktu tertentu. Dana yang terkumpul dari rekening tersebut digunakan untuk mensubsidi pembangunan sistem pembangkit energi listrik di wilayah lain.
Pembangunan sistem pembangkit energi listrik yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan, terutama air, sudah banyak dilaksanakan di Indonesia. Pemanfaatan energi angin banyak diterapkan di daerah pantai, seperti di Jepara, pulau Lombok, Sulawesi dan Bali. Sementara energi matahari telah dimanfaatkan di beberapa wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan wlayah timur Indonesia. Sebagian besar dari pembangunan tersebut berupa proyea-proyek percontohan.
Sumber : Elektro Indonesia

Pembangkit Biogas

Tipe Pembangkit Biogas
Ada dua tipe alat pembangkit biogas atau digester, yaitu tipe terapung (floating type) dan tipe kubah tetap (fixed dome type). Tipe terapung dikembangkan di India yang terdiri atas sumur pencerna dan di atasnya ditaruh drum terapung dari besi terbalik yang berfungsi untuk menampung gas yang dihasilkan oleh digester. Sumur dibangun dengan menggunakan bahan-bahan yang biasa digunakan untuk membuat fondasi rumah, seperti pasir, batu bata, dan semen. Karena dikembangkan di India, maka digester ini disebut juga tipe India. Pada tahun 1978/79 di India terdapat l.k. 80.000 unit dan selama kurun waktu 1980-85 ditargetkan pembangunan sampai 400.000 unit alat ini.
Tipe kubah adalah berupa digester yang dibangun dengan menggali tanah kemudian dibuat bangunan dengan bata, pasir, dan semen yang berbentuk seperti rongga yang ketat udara dan berstruktur seperti kubah (bulatan setengah bola). Tipe ini dikembangkan di China sehingga disebut juga tipe kubah atau tipe China (lihat gambar). Tahun 1980 sebanyak tujuh juta unit alat ini telah dibangun di China dan penggunaannya meliputi untuk menggerakkan alat-alat pertanian dan untuk generator tenaga listrik. Terdapat dua macam tipe ukuran kecil untuk rumah tangga dengan volume 6-10 meter kubik dan tipe besar 60-180 meter kubik untuk kelompok.
India dan China adalah dua negara yang tidak mempunyai sumber energi minyak bumi sehingga mereka sejak lama sangat giat mengembangkan sumber energi alternatif, di antaranya biogas.
Di dalam digester bakteri-bakteri methan mengolah limbah bio atau biomassa dan menghasilkan biogas methan. Dengan pipa yang didesain sedemikian rupa, gas tersebut dapat dialirkan ke kompor yang terletak di dapur. Gas tersebut dapat digunakan untuk keperluan memasak dan lain-lain. Biogas dihasilkan dengan mencampur limbah yang sebagian besar terdiri atas kotoran ternak dengan potongan-potongan kecil sisa-sisa tanaman, seperti jerami dan sebagainya, dengan air yang cukup banyak.
Untuk pertama kali dibutuhkan waktu lebih kurang dua minggu sampai satu bulan sebelum dihasilkan gas awal. Campuran tersebut selalu ditambah setiap hari dan sesekali diaduk, sedangkan yang sudah diolah dikeluarkan melalui saluran pengeluaran. Sisa dari limbah yang telah â?dicernaâ? oleh bakteri methan atau bakteri biogas, yang disebut slurry atau lumpur, mempunyai kandungan hara yang sama dengan pupuk organik yang telah matang sebagaimana halnya kompos sehingga dapat langsung digunakan untuk memupuk tanaman, atau jika akan disimpan atau diperjualbelikan dapat dikeringkan di bawah sinar matahari sebelum dimasukkan ke dalam karung.
Untuk permulaan memang diperlukan biaya untuk membangun pembangkit (digester) biogas yang relatif besar bagi penduduk pedesaan. Namun sekali berdiri, alat tersebut dapat dipergunakan dan menghasilkan biogas selama bertahun-tahun. Untuk ukuran 8 meter kubik tipe kubah alat ini, cocok bagi petani yang memiliki 3 ekor sapi atau 8 ekor kambing atau 100 ekor ayam di samping juga mempunyai sumber air yang cukup dan limbah tanaman sebagai pelengkap biomassa. Setiap unit yang diisi sebanyak 80 kilogram kotoran sapi yang dicampur 80 liter air dan potongan limbah lainnya dapat menghasilkan 1 meter kubik biogas yang dapat dipergunakan untuk memasak dan penerangan. Biogas cocok dikembangkan di daerah-daerah yang memiliki biomassa berlimpah, terutama di sentra-sentra produksi padi dan ternak di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, dan lain-lain.
Pembangkit biogas juga cocok dibangun untuk peternakan sapi perah atau peternakan ayam dengan mendesain pengaliran tinja ternak ke dalam digester. Kompleks perumahan juga dapat dirancang untuk menyalurkan tinja ke tempat pengolahan biogas bersama. Negara-negara maju banyak yang menerapkan sistem ini sebagai bagian usaha untuk daur ulang dan mengurangi polusi dan biaya pengelolaan limbah. Jadi dapat disimpulkan bahwa biogas mempunyai berbagai manfaat, yaitu menghasilkan gas, ikut menjaga kelestarian lingkungan, mengurangi polusi dan meningkatkan kebersihan dan kesehatan, serta penghasil pupuk organik yang bermutu.
Untuk menuai hasil yang signifikan, memang diperlukan gerakan secara massal, terarah, dan terencana meliputi pengembangan teknologi, penyuluhan, dan pendampingan. Dalam jangka panjang, gerakan pengembangan biogas dapat membantu penghematan sumber daya minyak bumi dan sumber daya kehutanan. Mengenai pembiayaannya mungkin secara bertahap sebagian subsidi BBM dialihkan untuk pembangunan unit-unit pembangkit biogas. Melalui jalan ini, mungkin imbauan pemerintah mengajak masyarakat untuk bersama-sama memecahkan masalah energi sebagian dapat direalisasikan.
Sumber : FISIKA LIPI

Termoelektrik sebagai Sumber Energi Alternatif

Pada tahun 2020 mendatang diperkirakan kebutuhan energi akan bertambah sekitar 40 persen dari kebutuhan saat ini. Teknologi termoelektrik merupakan sumber alternatif utama dalam menjawab kebutuhan energi tersebut. Di samping relatif lebih ramah lingkungan, teknologi ini sangat efisien, tahan lama, dan juga mampu menghasilkan energi dalam skala besar maupun kecil.
Teknologi termoelektrik bekerja dengan mengonversi energi panas menjadi listrik secara langsung (generator termoelektrik), atau sebaliknya, dari listrik menghasilkan dingin (pendingin termoelektrik). Untuk menghasilkan listrik, material termoelektrik cukup diletakkan sedemikian rupa dalam rangkaian yang menghubungkan sumber panas dan dingin. Dari rangkaian itu akan dihasilkan sejumlah listrik sesuai dengan jenis bahan yang dipakai.
Kerja pendingin termoelektrik pun tidak jauh berbeda. Jika material termoelektrik dialiri listrik, panas yang ada di sekitarnya akan terserap. Dengan demikian, untuk mendinginkan udara, tidak diperlukan kompresor pendingin seperti halnya di mesin-mesin pendingin konvensional.
Voyager I dan II adalah contoh pesawat ruang angkasa yang memanfaatkan teknologi termoelektrik. Voyager yang diterbangkan NASA tahun 1977 ini dirancang khusus untuk terbang menjauhi Tata Surya sehingga solar cell tidak dapat dipergunakan.
Dalam menempuh perjalanan yang tak terbatas itu diperlukan pula energi yang besar dan stabil untuk mengirimkan data ke Bumi. Untuk itulah Voyager menggunakan teknologi termoelektrik dengan plutonium-238 sebagai sumber panasnya (Radioisotop Thermoelectric Generators-RTGs). Sistem ini mampu membangkitkan listrik sebesar 400 W, serta secara kontinu dan tanpa perawatan apa pun, Voyager tetap dapat mengirimkan data walau sudah terbang selama 30 tahun.
Keberhasilan ini memberikan peluang yang luas dalam aplikasi lainnya. Salah satunya adalah yang dikerjakan Nissan, dengan memanfaatkan panas dari mesin mobil.
Seperti kita ketahui, dari 100 persen bahan bakar yang dipakai, hanya sekitar 30 persen yang dipergunakan untuk menggerakkan mobil. Sebagian besar energi terbuang dalam bentuk panas di radiator dan gas buangan. Di antara kedua panas tersebut, gas buangan memiliki perbedaan panas lebih tinggi, yakni sekitar 300-700 derajat Celsius sehingga lebih baik untuk dikonversikan menjadi energi penggerak mobil. Dengan memanfaatkan gas buangan ini, mobil-mobil produksi Nissan mampu menghemat bahan bakar sebesar 10 persen.
Contoh menarik lainnya adalah yang dilakukan oleh Seiko Co Ltd. Seiko memasarkan jam termoelektrik sejak tahun 1998 dengan nama Seiko Thermic.
Jam tangan ini memanfaatkan perbedaan suhu tubuh dan suhu sekitarnya. Bahan yang digunakan, bismut-tellurium, mampu menghasilkan listrik sebesar 0,2 mV/ oC. Jika 1.000 buah material tersebut dipasang seri, tentu akan menghasilkan tegangan listrik 0,2 V dalam setiap perbedaan 1 oC. Untuk itu, Seiko membuat unit pembangkit listrik, terdiri atas 10 buah modul termoelektrik yang masing-masing berisi 100 kawat mikro. Dari setiap unit inilah dihasilkan energi listrik sebesar 0,15 V untuk mengisi baterai litium pada jam tersebut.
Aplikasi dalam pendingin termoelektrik lebih luas lagi. Pendingin wine di hotel Jepang sudah banyak yang mempergunakan teknologi ini. Pendingin termoelektrik dapat diletakkan dengan leluasa di bawah tempat tidur karena tidak menimbulkan suara dan getaran.
Mitsubishi saat ini juga sudah memproduksi kulkas termoelektrik yang mampu menghemat energi 20 persen dibandingkan dengan kulkas biasa. Dalam dunia komputer, termoelektrik dipergunakan untuk mendinginkan CPU komputer.
Toshiba mengembangkan sebuah alat yang dapat mendinginkan sumber panas itu sendiri. Panas yang dihasilkan dari sumber panas dalam komputer digunakan untuk membangkitkan listrik, kemudian listrik itu dipergunakan untuk memutar kipas yang diarahkan ke sumber panas. Perangkat ini mampu menurunkan panas sekitar 32 oC.
Jika alat ini ditambahkan dengan alat pengontrol, tentu bisa dikontrol pula suhu yang ingin dicapai oleh sumber panas tersebut, tanpa menggunakan energi dari luar, baik untuk pendinginnya ataupun untuk penghasil listriknya.
Sejarah penemuan energi termoelektrik
Fenomena termoelektrik pertama kali ditemukan tahun 1821 oleh ilmuwan Jerman, Thomas Johann Seebeck. Ia menghubungkan tembaga dan besi dalam sebuah rangkaian. Di antara kedua logam tersebut lalu diletakkan jarum kompas. Ketika sisi logam tersebut dipanaskan, jarum kompas ternyata bergerak. Belakangan diketahui, hal ini terjadi karena aliran listrik yang terjadi pada logam menimbulkan medan magnet. Medan magnet inilah yang menggerakkan jarum kompas. Fenomena tersebut kemudian dikenal dengan efek Seebeck.
Penemuan Seebeck ini memberikan inspirasi pada Jean Charles Peltier untuk melihat kebalikan dari fenomena tersebut. Dia mengalirkan listrik pada dua buah logam yang direkatkan dalam sebuah rangkaian. Ketika arus listrik dialirkan, terjadi penyerapan panas pada sambungan kedua logam tersebut dan pelepasan panas pada sambungan yang lainnya. Pelepasan dan penyerapan panas ini saling berbalik begitu arah arus dibalik. Penemuan yang terjadi pada tahun 1934 ini kemudian dikenal dengan efek Peltier. Efek Seebeck dan Peltier inilah yang kemudian menjadi dasar pengembangan teknologi termoelektrik.
Setelah itu, perkembangan termoelektrik tidak diketahui dengan jelas sampai kemudian dilanjutkan oleh WW Coblenz pada tahun 1913 yang menggunakan tembaga dan constantan (campuran nikel dan tembaga). Dengan efisiensi konversi sebesar 0,008 persen, sistem yang dibuatnya itu berhasil membangkitkan listrik sebesar 0,6 mW.
AF Ioffe melanjutkan lagi dengan bahan-bahan semikonduktor dari golongan II-V, IV-VI, V-VI yang saat itu mulai berkembang. Hasilnya cukup mengejutkan, di mana efisiensinya meningkat menjadi 4 persen. Ioffe melakukan satu lompatan besar di mana ia berhasil menyempurnakan teori yang berhubungan dengan material termoelektrik. Teori itu dibukukan tahun 1956 yang kemudian menjadi rujukan para peneliti hingga saat ini.
Penelitian termoelektrik muncul kembali tahun 1990-an setelah sempat menghilang hampir lima dasawarsa karena efisiensi konversi yang tidak bertambah. Setidaknya ada tiga alasan yang mendukung kemunculan tersebut.
Pertama, ada harapan besar ditemukannya material termoelektrik dengan efisiensi yang tinggi, yaitu sejak ditemukannya material superkonduktor High-Tc pada awal tahun 1986 dari bahan yang selama ini tidak diduga (ceramic material).
Kedua, sejak awal 1980-an, teknologi material berkembang pesat dengan kemampuan menyusun material tersebut dalam level nano. Teknologi analisis dengan XPS, UPS, STM juga memudahkan analisis struktur material.
Ketiga, pada awal tahun 1990, tuntutan dunia tentang teknologi yang ramah lingkungan sangat besar. Ini memberikan imbas kepada teknologi termoelektrik sebagai sumber energi alternatif.
Pengembangan energi termoelektrik
Banyak aplikasi lain penggunaan energi termoelektrik yang sedang dikembangkan saat ini, seperti pemanfaatan perbedaan panas di dasar laut dan darat, atau pemanfaatan panas bumi. Kesulitan terbesar dalam pengembangan energi ini adalah mencari material termoelektrik yang memiliki efisiensi konversi energi yang tinggi.
Parameter material termoelektrik dilihat dari besar figure of merit suatu material. Idealnya, material termoelektrik memiliki konduktivitas listrik tinggi dan konduktivitas panas yang rendah. Namun kenyataannya sangat sulit mendapatkan material seperti ini, karena umumnya jika konduktivitas listrik suatu material tinggi, konduktivitas panasnya pun akan tinggi.
Material yang banyak digunakan saat ini adalah Bi 2 Te 3, PbTe, dan SiGe. Saat ini Bi2 Te3 memiliki figure of merit tertinggi. Namun, karena terurai dan teroksidasi pada suhu di atas 500 oC, pemakaiannya masih terbatas.
Rendahnya figure of merit ini menyebabkan rendahnya efisiensi konversi yang dihasilkan, di mana saat ini efisiensinya masih berkisar di bawah 10 persen. Nilai ini masih berkurang sampai 5 persen setelah menjadi sebuah sistem pembangkit listrik. Masih cukup jauh dibandingkan dengan solar cell yang sudah mencapai 15 persen.
Namun, penelitian ini masih terus berkembang, apalagi setelah Yamaha Co Ltd berhasil menaikkan figure of merit sebesar 40 persen dari yang ada selama ini.
Sumber : Fisika LIPI

Kogenerasi Listrik dan Panas

Seperti yang sudah ditunjukkan oleh lembaga energi dunia, bahwa kebutuhan energi akan meningkat dari tahun ke tahun, khususnya di sektor tenaga listrik untuk memenuhi kebutuhan penduduk dunia yang makin bertambah. Di sisi lain masalah-masalah lingkungan termasuk efek rumah kaca akibat emisi karbon dioksida dan gas-gas lain dari pembakaran bahan bakar fosil, merupakan masalah yang sangat serius di mata Intergovernmental Panel on Climate Change dan lembaga-lembaga lainnya.
Energi nuklir sangat potensial untuk memecahkan masalah seperti ini dan sudah menjadi sumber energi yang sangat berharga dan menguntungkan bagi lingkungan. Dewasa ini sumbangan energi nuklir pada produk listrik dunia sekitar 17 persen .
Hanya sebagian dari tenaga itu yang sedang direalisasikan. Teknologi mempunyai peran yang lebih besar dalam menjamin pasokan energi yang cocok untuk menghasilkan baik listrik maupun panas untuk rumah tangga, industri serta tujuan-tujuan lainnya.
Pemanfaatan Energi Panas
Di seluruh dunia, sekitar 30 persen dari total energi utama digunakan untuk menghasilkan listrik. Sebagian besar dari 70 persen sisanya digunakan baik untuk transportasi atau dikonversi menjdai air panas, uap dan panas. Hal ini menunjukkan bahwa pasaran non listrik terutama untuk air dan uap cukup besar.
Dewasa ini energi nuklir digunakan untuk menghasilkan listrik pada lebih dari 24 negara. Sebanyak 423 pembangkit tenaga nuklir dengan total kapasitas sekitar 324 gigawatt listrik (GWe) sedang beroperasi dan sekitar 80 pembangkit tenaga nuklir dengan total kapasitas sekitar 80 GWe sedang dibangun, dan hanya sebagian kecil dari pembangkit tenaga nuklir sedang digunakan untuk memasok air panas dan uap. Total kapasitas dari pembangkit tanaga nuklir ini kurang dari 5 GW thermal (th) dan sedang dioperasikan pada beberapa negara yaitu Canada dan USSR.
Ada beberapa alasan untuk membedakan listrik dan produksi panas dari energi nuklir. Keduanya termasuk pasaran kogenerasi yang terpisah, ukuran jaringan listrik, biaya yang rendah dari sumber energi pengganti untuk produksi panas dan biaya yang tinggi untuk transportasi dan distribusi.
Untuk aplikasi-aplikasi panasnya, kebutuhan temperatur spesifik sangat bervariasi (Grafik 1). Kebutuhan temperatur spesifik mempunyai batasan mulai dari temperatur yang paling rendah yaitu sekitar temperatur kamar untuk aplikasi seperti air panas dan uap untuk agro industri, selanjutnya untuk pemanasan distrik dan desalinasi air laut, sampai dengan temperatur 1000oC berturut-turut yaitu uap proses dan panas untuk industri kimia dan uap injeksi bertekanan tinggi untuk enhanced oil recorvery, oil shale dan oil sand processing, proses pengilangan minyak dan produksi olefin dan pengilangan batubara dan lignite. Proses pemisahan air (water splitting) untuk produksi hidrogen adalah pada ujung yang paling atas.
Panas dapat dipasok oleh uap sampai dengan temperatur sekitar 550 oC, di atas temperatur tersebut, kebutuhan-kebutuhan harus disediakan secara langsung oleh panas proses, karena tekanan uap menjadi lebih tinggi dari 550o C. Batas atasnya yaitu 1000oC untuk panas proses yang dipasok dari energi nuklir adalah diatur dengan dasar kekuatan jangka panjang dari material reaktor yang bersifat logam.
Selain itu tentu ada proses industri dengan kebutuhan temperatur di atas 1000oC, sebagai contoh, produksi baja. Proses seperti ini dapat menggunakan energi nuklir lewat pembawa energi sekunder, seperti listrik, hidrogen dan gas sintetis.
Energi panas yang dihasilkan reaktor nuklir
Pada semua pembangkit tenaga nuklir, proses utama dalam teras reaktor adalah konversi energi nuklir menjadi panas. Karena itu pada prinsipnya, semua reaktor nuklir dapat digunakan untuk menghasilkan panas. Namun, secara praktis ada 2 kriteria yang menentukan yaitu temperatur panas yang dihasilkan (dari pendingin primer) dan tekanan uap yang dihasilkan.
Berkenan dengan faktor yang pertama, reaktor berpendingin air (water - cooled reactor) memberikan panas sampai 300oC. Jenis reaktor ini termasuk Pressurized - Water Reactor (PWR), Boiling - Water Reactor (BWR), Pressurized Heavy - Water Reactor (PHWR) dan reaktor bermoderator grafit yang berpendingin air ringan (LWGR).
Reaktor bermoderator air berat dan berpendingin organik (OCHWR) mencapai temperatur sekitar 400oC, sementara reaktor pembiak/ Liquid Metal Fast Breeder Reactor (LMFBR) menghasilkan panas sampai dengan 540oC. Reaktor berpendingin gas mencapai temperatur yang lebih tinggi, sekitar 650oC untuk reaktor bermoderator grafit yang berpendingin gas maju dan reaktor bermoderator grafit yang berpendingin gas temperatur tinggi 950oC (HTGR). (Grafik 2)
Selanjutnya di samping temperatur maksimum dari pendingin primer, pertimbangan penting yang lainnya adalah perbedaan temperatur di antara pendingin masuk dan pendingin ke luar.
Tekanan dari uap yang dihasilkan adalah penting jika pada penggunaan dalam bidang enhanced oil recorvery: kedalaman sumber minyak, tekanan uap injeksi yang lebih tinggi. Di sini, jenis reaktor yang mempunyai pendingin primer selain air (OCHWR, LMFBR, AGR dan HTGR) mempunyai keuntungan yang mana dengan mudah dapat menghasilkan uap injeksi dengan tekanan yang lebih tinggi (sebagai contoh, 10MPa) untuk kedalaman ladang minyak sekitar 500m. Untuk reaktor berpendingin air, proses mencapai tekanan seperti ini akan membutuhkan step tambahan yaitu kompresi uap.
Kopel panas dan listrik
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, proses konversi utama di dalam reaktor nuklir adalah konversi energi nuklir menjadi panas. sehingga di dalam banyak aspek, penggunaan reaktor nuklir sebagai penghasil listrik secara teknis juga dapat digunakan sebagai penghasil panas. Baik itu dalam bentuk uap panas atau air panas. Perbedaannya adalah kenyataan bahwa uap tidak dapat ditransportasikan pada jarak yang panjang secara lebih ekonomis dibandingkan untuk listrik. Tetapi akan memberikan dampak ekonomi yang baik jika digunakan untuk keperluan proses-proses di dalam industri. Untuk memberikan hasil yang optimum, penggunaan panas untuk industri harus disesuaikan dengan ukuran dan tipe reaktor nuklir. Ada beberapa alternatif kopel yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan khusus suatu industri dan pembangkitan listrik yang diinginkan. Secara umum tiga metode dasar alternatif kopel sumber panas reaktor nuklir adalah sebagai berikut :
Kopel panas langsung (Direct steam coupling)
Di dalam kopel panas langsung, reaktor nuklir memproduksi panas dan mensuplai langsung kebutuhan proses-proses di dalam industri tanpa ada listrik yang dihasilkan sebagai hasil samping.
Kogenerasi paralel (Parallel cogeneration)
Di dalam kogenerasi paralel, uap yang dihasilkan digunakan untuk listrik bersamaan untuk kebutuhan proses-proses di dalam industri. Dimana uap yang dihasilkan, secara paralel digunakan untuk produksi listrik dan memenuhi kebutuhan industri (Gambar 2). Kopel semacam ini banyak disukai dan meningkat penggunaannya karena sifatnya yang mudah disesuaikan di dalam pemanfaatan energi. Konsumsi energi total akan sama, jika uap dan listrik diproduksi secara terpisah.
Kogenerasi seri (Series cogeneration)
Di dalam kogenerasi seri, uap yang dihasilkan digunakan untuk listrik kemudian digunakan untuk kebutuhan proses-proses di dalam industri. Dimana uap yang dihasilkan digunakan secara seri.
Model yang lain adalah kogenerasi panas dan listrik. Kogenerasi paralel dicapai dengan proses ekstraksi beberapa uap dari sisi sekunder generator uap, sebelum masuk ke turbin. rangkaian kogenerasi dicapai pada saat temperatur telah sesuai aplikasi yang diinginkan yaitu proses ekstraksi dari sebagian atau seluruh uap pada beberapa waktu selama ekspansi uap dalam turbin. Selama siklus ini, uap yang sudah diekstraksi sudah digunakan untuk produksi listrik. Rangkaian kogenerasi cocok digunakan untuk proses industri yang berhubungan dengan pemanasan distrik, desalinasi dan pertanian.
Penerapan kopel panas dan listrik
Dewasa ini sejumlah negara mempunyai pembangkit tenaga nuklir yang sedang digunakan untuk produksi air panas dan uap. Jumlah total kapasitasnya kurang dari 5 GWth.
Pengalaman nyata dalam kogenerasi listrik dan panas sudah ditingkatkan di negara-negara sebagai berikut, yakni di Uni Sovit. Pengalaman ini meliputi reaktor-reaktor di Beloyarsky, Kursk, Novovoronezh, Rovno dan Kol'skaya di Uni Soviet. Universitas Tsinghua di China, Bruce Nuclear Power Development di Canada, Bohunice di Czechoslovakia, Goesgen dan Beznau di Switzerland dan Stade di Jerman.
Sebuah tinjauan teknis dari beberapa aplikasi adalah sebagai berikut :
Reaktor Panas di China
Pada Institut Teknologi Energi Nuklir (INET), Universitas Tsinghua, Beijing, sebuah reaktor panas nuklir dengan kapasitas 5 MWth mulai beroperasi selama musim dingin 1989-1990. Digunakan untuk memasok panas ke pusat INET dengan pengalaman pengoperasian reaktor sudah sangat baik. Prinsip-prinsip disain reaktor tersebut mengikuti disain dari PWR. Tekanan dan kondisi temperatur pada loop primer adalah 186/146 C. Temperatur pada loop menengah adalah 160/110 pada 1,7 MPa, dan pada grid panas, 90/60.
Kogenerasi paralel dari uap proses dan panas di Canada
Satu pemakaian yang terbesar dari uap proses terjadi pada Bruce Nuclear Power Development Facility di Ontario, Canada. PHWR Candu pada lokasi ini mampu menghasilkan lebih dari 6000 MWe listrik serta uap proses dan panas yang digunakan oleh Ontario Hydro dan stasiun energi industri yang berdekatan.
Stasiun nuklir Bruce-A terdiri dari 4 unit 825 MWe yang membangkitkan listrik. Selanjutnya, pembangkit memasok uap ke alat pembangkit uap. Alat ini membangkitkan panas proses 720 MWth dan uap untuk produksi air berat, 70 MWth untuk digunakan pada pusat energi Bruce dan 3 MWth untuk pelayanan lainnya.
Siklus ini bersifat khusus untuk kogenerasi paralel. Panas nuklir yang telah dihasilkan dalam reaktor ditransfer ke dalam generator uap bersamaan dengan uap dipasok ke turbin dan kemudian secara langsung diumpankan ke alat pembangkit uap. Uap yang diekstraksi tidak digunakan untuk menghasilkan listrik.
Rangkaian kogenerasi air panas untuk pemanasan distrik di Czechoslovakia
Stasiun tenaga nuklir Bohunice terdiri dari 2 unit VVER-440/320 yang telah dirancang Soviet dan 2 unit VVER-440/213. Semua unit ini sedang dalam pelayanan. Masing-masing unit tediri dari reaktor dengan daya termal 1375 MWth, 6 generator uap horizontal dan 2 turbin kondensasi. Pembangkit kogenerasi listrik dan panas temperatur rendah untuk tujuan pemanasan, industri dan pertanian di area dekat Trnava.
Dalam rangkaian siklus kogenerasi, air dipanaskan hingga temperatur 70oC dan 150oC. Turbin mampu memasok 60 MWth panas (Gambar 4).Gambar 4
Rangkaian kogenerasi untuk desalinasi air laut di USSR
Pemanfaatan sumber-sumber alam pada daerah kering di Kazachstan bagian barat, USSR menjadikan masalah-masalah dalam hal memasok listrik dan air dapat dipecahkan. Penyumbang penting pada usaha ini sudah ada di kompleks Shevchenko yaitu fast breeder reactor jenis BN-350, 3 stasiun daya termal dan alat desalinasi dengan peralatan destilasi termal. Kompleks ini merupakan pembangkit uji coba pertama di dunia, dan satu-satunya untuk sementara waktu, dimana sebuah reaktor nuklir digunakan dalam desalinasi air laut.
Di dalam proses, generator uap BN-350 dan unit boiler memasok uap ke beberapa turbin yang berbeda. Uap dari unit BN-350 pada tekanan 4,5 MPa dan 450 langsung ke turbin back-pressure dan ke turbin kondensasi. Uap dari turbin back-pressure langsung ke arah unit desalinasi dan industri-industri.
Kompleks Shevchenko adalah pusat terluas dari desalinasi termal komersil di USSR. Ada 12 unit desalinasi yang beroperasi pada kompleks dengan total kapasitas 140.000 M3/ air destilat setiap hari.
Masalah ekonomi dari kogenerasi nuklir
Pembangkit listrik tenaga nuklir, maupun infrastruktur untuk transportasi dan distribusi dari air panas dan uap adalah merupakan teknologi padat modal (mahal). Sedangkan pembangkit tenaga nuklir sudah membuktikan secara ekonomis bersaing dengan pembangkit listrik itu sendiri. Perbedaan faktor-faktor biaya meliputi untuk kogenerasi dan model produksi panas.
Aturan menonjol berikut ini dapat digunakan : biaya panas kogenerasi sama dengan biaya listrik dibagi dengan koefisien kinerja alat, sebuah faktor yang tergantung pada jenis reaktor dan parameter-parameter lain sedang dipertimbangkan.*
Dengan menggunakan aturan tersebut, gambaran biaya untuk kogenerasi sudah dapat dihitung, sebagai contoh : Modular High-Temperature Gas Cooled Reactor (MHTGR) di Jerman. Dalam contoh ini, biaya listrik sama dengan 5 US cent/kilowatt-hour-electric, biaya uap sama dengan 1,7 US cent/kilowatt-hour-thermal dan biaya air panas sama dengan 0,5 US cent/kilowatt-hour-thermal. Biaya ini adalah biaya yang diperhitungkan untuk waktu hidup MHTGR selama 40 tahun.
Gabungan dari energi nuklir dan energi fosil
Lebih dari 80 persen dari penggunaan energi dunia didasarkan pada sumber energi fosil, yaitu batubara, minyak dan gas. Pembakaran bahan bakar ini dapat menyebabkan masalah lingkungan yang disebabkan dari emisi sulfur oksida, nitrogen oksida dan karbon dioksida.
Untuk memecahkan masalah-masalah seperti ini, satu pendekatan yang sudah diajukan adalah penggabungan sistem energi. Sebuah contoh untuk suatu sistem penggabungan di masa datang adalah aplikasi panas nuklir untuk proses reformasi gas alam. Gas sintesa, methanol, hidrogen, panas dan listrik akan dihasilkan dari gas alam dan uranium dengan menggunakan proses reformasi-HTGR. Dalam proses ini, gas alam terurai menjadi hidrogen dan karbon monoksida. Hasil utama methanol, hidrokarbon cair dan hidrogen. Sedang hasil sampingnya adalah panas dan listrik.
Contoh lain dari pendekatan yang telah digabungkan ini adalah terlihat dalam industri minyak. Beberapa studi sudah dilakukan pada pemanfaatan tenaga nuklir sebagai sumber panas untuk eksploitasi minyak berat. Studi ini telah menunjukkan bahwa pilihan pada tenaga nuklir memberikan keuntungan pada ekonomi dan lingkungan sebagai perbandingan terhadap metode konvensional, pada kondisi pasar minyak yang menguntungkan.
Contoh ketiga adalah penggabungan dari batubara dan energi nuklir dalam industri baja. Dilihat dari sudut pandang teknologi, contoh tersebut merupakan penggabungan yang paling ambisius. Hal ini meliputi gasifikasi batubara keras yang dipanaskan oleh helium panas dari HTGR.
Hasil menengah adalah gas sintesa dan kokas yang digunakan untuk proses reduksi biji besi. Produk akhir adalah methanol dan besi glubal.
Kesimpulan
Ada suatu pemikiran yang mendalam untuk menjadikan fungsi pembangkit nuklir untuk menghasilkan uap dan panas bagi kebutuhan rumah tangga dan industri.
Di beberapa negara tertentu, kogenerasi dan produksi panas dengan reaktor nuklir sudah pada jalur yang efektif untuk mempertemukan jenis kebutuhan energi yang berbeda-beda. Potensi untuk menerapkan teknologi ini secara lebih luas memberikan suatu harapan yang baik. Perhatian internasional pada masalah-masalah lingkungan dan masalah-masalah lain muncul kembali karena meningkatnya pembakaran terahadap bahan bakar fosil.
Sejalan dengan hal tersebut, IAEA mengumpulkan ahli-ahli pada suatu pertemuan pada tahun 1990 untuk meninjau kembali status kogenerasi dan sistem produksi panas yang didasarkan pada nuklir. Dokumen teknis penerapan nuklir untuk produksi uap juga untuk mensuplai air panas sudah disiapkan untuk publikasi, sehingga menyebar luaskan pertukaran pengalaman di bidang ini.
Walaupun kebutuhan energi meningkat, pertimbangan yang lebih teliti terhadap baik buruk teknologi ini perlu dilakukan di antara teknologi yang ada.
Daftar pustaka
IAEA, Nuclear application for steam and hot water supply, IAEA-TECDOC-615, Austria, Juli 1991.
IAEA, Nuclear Energy for heat applications, IEAE bulletin vol. 33 no. 1, Austria, 1991.
Sumber : Elektro Indonesia 3/1996
Disusun oleh: Hendri Firman Windarto (BATAN)

Fuel-Cell (dari Baterai Portabel sampai Pembangkit Listrik)

Sampai saat ini memang belum ada jenis sumber tenaga listrik yang memiliki rentang pemakaian yang sangat luas seperti sumber energi fuel-cell. Perangkat yang sekarang kebanyakan masih dalam bentuk prototipe ini selain belakangan banyak dikembangkan untuk kebutuhan produk elektronik portabel, seperti telepon seluler, juga dipersiapkan untuk kebutuhan otomotif dan pembangkit listrik.Gema pengembangan baterai yang sangat ramah lingkungan ini, terutama untuk kebutuhan barang-barang elektronik ringkas. Bahkan para pengamat banyak memperkirakan tidak sampai lima tahun mendatang baterai dengan bahan bakar gas hidrogen ini akan mulai bersaing dengan baterai-baterai konvensional, baik baterai kering maupun baterai isi ulang, yang membahayakan lingkungan.
Segi menarik dari sumber tenaga kecil ini antara lain menawarkan bobot yang ringan untuk kebutuhan seperti telepon seluler generasi ketiga, notebook, PDA, dan perangkat elektronik kecil lainnya. Yang lebih mengagumkan adalah kemampuan menghasilkan listrik yang lebih lama dibandingkan baterai konvensional dengan besar yang sama.
Pengembangan dalam dunia otomotif tidak kalah menariknya, seperti percobaan yang dilakukan perusahaan otomotif raksasa Jerman, DaimlerChrysler. Sampai tahun lalu perusahaan dari Jerman ini sudah memperkenalkan prototipe yang kelima dan pada Necar 5 sudah lebih spesifik, bukan lagi hanya menggunakan hidrogen, tetapi bahkan metanol sebagai bahan bakar untuk sumber listrik fuel-cell.
Selain perusahaan Jerman ini, produsen otomotif AS General Motor juga melakukan pengembangan yang sama. Perusahaan otomotif Jepang, Honda dan Toyota tidak mau ketinggalan, bahkan Toyota pertengahan bulan lalu mengatakan telah mengembangkan dua kendaraan hibrida fuel-cell bekerja sama dengan pembuat truk Hino Motors.
Perusahaan lain seperti BMW sepuluh hari lalu juga memperkenalkan kendaraan dengan bahan bakar hidrogen di Los Angeles, AS. Hanya bedanya kendaraan ini mempergunakan bahan bakar hidrogen dalam sistem mesin pembakaran dalamnya, bukan untuk membangkitkan listrik penggerak motor listrik.
Pembangkit listrik ukuran sedang antara lain dikembangkan Greenvolt Power Corp. Perusahaan ini bahkan sudah siap mengirimkan pembangkit listrik berkapasitas 200 kW PAFC (Phosphoric Acid Fuel Cell ) pada bulan Juli ini. Pembangkit berbobot 30 ton ini mempergunakan bahan bakar gas alam tanpa mempergunakan mesin pembakaran yang selama ini biasa digunakan.
PADA dasarnya fuel-cell ini adalah baterai yang relatif sederhana dibandingkan jenis baterai lain yang bisa membangkitkan listrik arus searah. Bahkan teknologi pembangkit listrik ini sudah ada sejak lebih dari 150 tahun yang lalu, meskipun waktu itu pengembangannya banyak menemui hambatan sampai akhirnya tertinggal dibanding dengan teknologi lain.
Sejak cara pembangkitan listrik terjadi secara kimiawi, mesin ini menjadi sangat senyap, jauh dari polusi suara yang dihasilkan sistem pembakaran dalam, apalagi mesin diesel. Maka dalam dunia otomotif mesin fuel-cell lebih sebagai mesin pembangkit listrik untuk menggerakkan motor listrik.
Hanya uniknya mesin ini juga "memakan" bahan bakar, meski tanpa melalui sistem pembakaran sebagaimana biasa dikenal selama ini. Inti kerjanya sangat sederhana, yaitu mempertemukan unsur hidrogen-bisa didapat dari bahan bakar hidrokarbon seperti gas alam, metanol, dan bahkan bensin-dengan oksigen dari udara bebas, menghasilkan uap air dan aliran elektron atau listrik.
Maka istilah fuel-cell sendiri kalau diterjemahkan menjadi sel bahan bakar bisa menimbulkan pengertian yang berbeda. Istilah ini berasal dari teknologi baterai, di mana kata "cell" merupakan sebutan bagi pasangan anoda dan katoda (plat positif dan negatif). Istilah fuel-cell tidak dipergunakan pada awal-awal penemuannya, mereka lebih menggunakan nama sesuai nama penemu atau istilah seperti "gas battery".
"Karena fuel-cell dan baterai bekerja secara serupa, maka terminologi fuel-cell pada dasarnya berarti satu tipe baterai yang mempergunakan aliran bahan bakar secara tetap untuk bisa menghasilkan listrik," kata Hal Wallace, ahli sejarah bidang koleksi kelistrikan pada National Museum of American History yang dihubungi Kompas melalui email.
Dalam pengembangannya, sekalipun mempergunakan prinsip kerja yang sama, namun variasinya cukup banyak. Mesin fuel-cell besar tidak bisa dibuat kecil hanya dengan cara mengecilkan skalanya saja, demikian pula sebaliknya.
Pembangkit listrik seperti halnya listrik PLN selain memerlukan fuel-cell berkapasitas besar, juga membutuhkan inverter untuk mengubah arus searah menjadi arus bolak-balik untuk bisa diinterkoneksikan dengan jaringan listrik yang ada. Selain itu membutuhkan konverter untuk mengubah bahan bakar hidrokarbon menjadi gas yang kaya dengan hidrogen, proses ini yang semakin menambah kompleksitas mesin fuel-cell.
Meskipun beberapa pengembang mempergunakan bahan bakar hidrogen murni yang disimpan secara kimiawi dalam sebuah tabung yang kuat, kebanyakan perancang memilih bahan bakar seperti metanol. Selain lebih murah, tersedia secara luas, dan bisa diperlakukan seperti bensin, metanol juga tidak seberbahaya hidrogen.
Maka tidaklah salah jika DaimlerChrysler memilih mengembangkan kendaraan berbahan bakar alternatif ini lebih pada metanol. Bukan saja pemakai tidak perlu terlalu banyak mengubah kebiasaan, seperti mengisi bensin biasa, jaringan pompa bensin dengan mudah bisa digunakan untuk metanol dengan sedikit modifikasi, tanpa harus membangun baru.
Bandingkan cara ini dengan sistem mobil listrik biasa, yang harus membawa banyak aki untuk menyimpan listrik, dengan waktu pengisian bisa semalam suntuk. Dengan fuel-cell orang cukup mengisi kembali metanol yang habis dan mesin sudah langsung bekerja kembali, tidak ada ledakan (kebisingan), dan gas buang sangat ramah lingkungan, karena hanya berupa panas dan uang air saja.
Teknologi yang sekarang tengah diperjuangkan adalah upaya membuat fuel-cell langsung. Artinya, bahan bakar hidrokarbon bisa langsung digunakan tanpa harus melalui sebuah "reformer" untuk mengambil unsur hidrogennya saja, karena alat ini bukan hanya menambah kompleksitasnya, tetapi juga banyak memakan tempat dan berat.
Cara langsung yang akan menjadi mesin fuel-cell mikro untuk kebutuhan portabel ini mempergunakan media membran untuk pertukaran proton atau PEM (proton exchange membrane ). Membran yang bisa terbuat dari bahan polimer khusus atau cairan elektrolit konduktif ini memungkinkan ion positif melintas dan memblok elektron.
Kemajuan dalam bidang pembuatan mikrochip juga dimanfaatkan untuk bisa memproduksi fuel-cell mikro berharga murah dan produksi dalam volume tinggi, seperti yang dilakukan para peneliti Motorola dan Los Alamos National Laboratory di AS.
Pendekatan lain dilakukan perusahaan Medis Technologies dari Israel yang bersama kelompok Sagem Group (pembuat telepon seluler Perancis) membangun pabrik yang mampu memproduksi micro fuel cell dalam setahun. Baterai buatan Medis ini dapat mempergunakan etanol yang sangat bermanfaat bagi mereka yang tengah melakukan perjalanan, jika kehabisan baterai bisa mempergunakan minuman keras seperti vodka dari sebuah minibas di hotel.
Sumber: Elektro Indonesia

Teknologi Pengelolaan Limbah Cair

Teknologi pengolahan limbah cair sangat bervariasi tergantung karakteristik air limbah, kualitas hasil olahan yang diinginkan dan biaya yang tersedia. Baku mutu penurunan komponen pencemar disebut baku mutu effluen. Tetapi pada dasarnya setiap pengolahan limbah cair mempunyai tujuan yang sama yaitu mengurangi kadar bahan polutan (pencemar) yang terkandung dalam limbah cair sampai kadar tertentu yang sesuai baku mutu effluent yang ditetapkan dalam perundang-undangan.
Koa­gulasi dan flokulasi dapat dilakukan melalui beberapa tahapan proses sebagai berikut:
  1. Penambahan koagulan/flokulan disertai pengadukan dengan kecepatan tinggi dalam waktu yang singkat. Destabilisasi dari sistem koloid.
  2. Penggumpalan partikel yang telah mengalami destabilisasi sehingga terbentuk microfloc.
  3. Penggumpalan lanjutan untuk menghasilkan macrofloc yang dapat diendapkan, disaring, atau diapungkan.

Destabilisasi biasanya dilakukan dengan penambahan bahan-bahan kimia yang dapat mengurangi daya penolakan (repulsive force) karena mekanisme pengikatan dan adsorpsi. Berkurangnya daya penolakan akan diikuti dengan penggumpalan koloid yang telah netral secara elektrostatik, yang akan menghasilkan berbagai gaya yang bekerja di antara partikel hingga terjadi kontak satu sama lain.
a. Koagulan
Valensi ion akan berpengarah terhadap proses koagulasi. Ion yang memiliki muatan berlawanan dengan koloid akan diendapkan. Koagulasi dicapai dengan menetralkan muatan elektrik dari permukaan koloid. Se-makin besar valensi koagulan, efektivitas gaya koagulasi semakin besar. Dengan demikian, berbagai besi valensi tiga dan garam aluminium dapat digunakan sebagai koagulan, misalnya: A12(SO)4 (aluminium sulfat), FeCl3 (besi (III) klorida), FeSO4 (besi (II) sulfat), dan A12(OH)20C14 (polia-luminium klorida). Namun, koagulan-koagulan tersebut memiliki kelemah-an, yaitu adanya perubahan karakteristik fisika-kimia (pH dan konduk-tivitas) dalam air hasil olahan. Selain itu, jika digunakan dalam dosis besar, akan menghasilkan lumpur yang berlebihan.
b. Flokulan
Saat ini, flokulan yang banyak digunakan adalah polyelectrolite. Mo-lekul organik ini memiliki senyawa-senyawa makromolekul yang pan-jang. Beberapa senyawa memiliki muatan listrik atau gugus-gugus yang dapat terionisasi. Berdasarkan sifatnya, polyelectrolite dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu non-ionik polimer (misalnya polyacrylamide), anionik polimer (misalnya poly acrylic acid), dan kationik polimer (misalnya poly-ethylene-imine). Seluruh flokulan tersebut berperan untuk mempercepat terbentuknya floc.

Teknik-teknik pengolahan limbah cair yang telah dikembangkan tersebut menurut Tchobanoglous (1997), secara umum dibagi dalam tiga metode yaitu :
1. Pengolahan limbah cair secara fisika
Pengolahan ini dikerjakan terhadap air limbah yang mengandung bahan limbah yang dapat dipisahkan secara mekanis langsung tanpa penambahan bahan kimia ataupun proses biologis. Secara umum yang termasuk dalam proses ini adalah :
a. Screening
b. Filtrasi
c. Sedimentasi
2. Pengolahan limbah cair secara kimia
Pengolahan Ini dilakukan untuk mengendalikan atau menghilangkan komponen limbah yang ada dengan bahan kimia tertentu. Secara umum yang termasuk dalam proses ini adalah :
a. Netralisasi
b. Koagulasi / flokulasi
c. Adsorbsi
d. Ion exchange ( Pertukaran ion)
e. Oksidasi dan Reduksi
3. Pengolahan limbah cair secara biologi
Proses ini bertujuan untuk mengurangi/menstabilisasi bahan organik pada air limbah yang pada dasarnya merupakan proses oksidasi zat organik melalui aktifitas mikroorganisme. Secara umum yang termasuk dalam proses ini adalah :
a. Activated Sludge
b. Trickling Filter
c. Cakram Biologi
d. Filter Terendam.
Dengan adanya pengolahan limbah maka diharapkan segala permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah tersebut tidak akan terjadi.